Indonesia kini telah menjadi barometer moderasi dalam beragama dunia ; ragam agama-keyakinan ; internal dan eksternal, sosial, budaya, bahasa hingga ragam pranata sosial menjadi salah satu indikator bahwa Indonesia majemuk. Termasuk nampak dalam pola relasi intern dan ekstern beragama dan berbudaya masyarakat Suku Sasak Lombok Nusa Tenggara Barat.
Moderasi untuk Harmoni
Dalam literatur disebutkan bahwa moderasi (wasatiyah) berarti tidak berlebihan, sedang, tidak kurang, atau imbang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), moderasi berarti pengurangan kekerasan atau penghindaran keekstreman. Maka, ketika kata moderasi disandingkan dengan kata beragama ; moderasi beragama, maka istilah tersebut berarti merujuk pada sikap mengurangi kekerasan, atau menghindari keesktreman dalam cara pandang, sikap, dan praktik beragama.
Moderasi dalam Bahasa Arab disebut sebagai wasat atau wasatiyah yang berarti tengah-tengah, adil (I’tidal), dan berimbang (tawazun). Individu atau kelompok sosial yang menengahi perkara disebut wasit. Lawan kata (anonym) moderasi (wasatiyah) dalam perbendaharaan Arab atau Barat yaitu ekstreemisme (al-guluw), fundamentalisme, hard liners (aliran keras), militanisme, radikalisme, dan puncaknya adalah terorisme.
Pemahaman tentang ekstrem dalam padanan Bahasa Indonesia yang dihimpun dalam padanan agama bisa berarti berlebihan dan melampaui ketentuan agama. Nah, praktik condong pada menihilkan yang lain adalah praktik kontraproduktif untuk tumbuhnya disharmoni dalam kemajemukan.
Butuh keteladanan dan model untuk mengurai kompleksitas dalam keberagamaan yang beragam di Indonesia. Karena sejak awal secara natural dalam Islam pun telah dinyatakan bahwa “lakum dii nukum waliyadin.” Praktiknya membutuhkan respon moderat terhadap ragam identitas agama dan kemajemukan kultur bangsa.
Penafsiran seseorang yang menihilkan pandangan cara beragama oranglain dapat menciptakan disharmoni, bala’ dalam tradisi Sasak Lombok disebut mali’ lenget ; sesuatu yang dilanggar dalam pranata akan menyebabkan banyak mudarat (mufsadat). Tentu akan muncul konflik dan perpecahan dalam struktur lapisan sosial masyarakat.
Amanah konstitusi UU RI 1945 Pasal 29 (2) tentang negara menjamin tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing….,. Kedua, UU 39 Tahun 1999 tentang Hak Azazi Manusia dimana setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Ketiga, Pasal 2 Perpres 83 Tahun 2015 tentang Kementerian Agama RI dinyatakakan bahwa Kemeneterian Agama RI mempunyai tugas menyelenggrakan urusan agama untuk membantu presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Keempat, Lampiran III Perpres 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024 tentang prioritas memperkuat moderasi beragama, yang bertujuan untuk mengukuhkan toleransi, kerukunan dan harmoni sosial menjadi tanggungjawab Kementerian Agama.
Dari paparan diatas jelas terdeskripsi bahwa negara telah hadir untuk menguatkan solidaritas cinta tanah air (nahdlatul wathan) untuk kesatuan. Nah, apabila ada anasir bagi sekelompok orang atau individu yang condong yang mengarah pada pola pikir keburukan (afkaar al-suu) dalam konteks meruntuhkan semangat ke-Indoensiaan atas nama keyakinan diperlukan sinergitas semua komponen sebagaimana alim ulama terdahulu melalui (NU, Muhammadiyah, NW dan lainnya) untuk keberhasilan (al falaah) dan kejayaan Indonesia. Termasuk juga peran adat dan tokoh adat melalui pendekatan kebudayaan.
Beragama untuk Kemaslahatan
Beragama merupakan potensi manusia sejak lahir, bagaimana mewujudkan cara beragama yang baik ?. Beragama bukan semata me-Nuhan-kan-Nya dalam kontek praktik keta’atan malaikat. Dimana jiwa kemalaikatan (al-malakiyah) yang selalu tunduk, ta’at dan tidak pernah keluar dari aturan-Nya. Ketika Tuhan memerintahkan kepada-Nya hanya untuk bersujud, maka malaikat pun akan bersujud selamanya. Tentu dalam konteks beragamanya manusia, tidak cukup hanya memaksimalkan unsur kemalaikatan saja.
Dalam teori Kepribadian perspektif Psikologi Islam, Abdul Mudjib (2019 : 143) menguatkan kembali bahwa pada diri manusia ada qalbu yang mengarahkan manusia untuk taqorrub bersama rab al-izzah, dalam arti mengajak kepada kebaikan dan menjauhi larangannya (untuk-Nya dan manusia). Berikutnya ada akal dan nafsu yang berfungsi menggerakkan manusia untuk bersosialisasi, bernegosiasi, beradptasi, produktif, kreatif, dan konsumtif. Karena sejatinya pula melalui taqorrub lah hati menjadi tenang, produktif dan kreatif. Efek ibadah.
“Nampak” sholeh dalam praktik, show off-identitas dalam keberagamaan. Pesona tampilan ; atribut-atribut identitas (kebahasaan, padanan dandanan hingga ritual). Apakah hal tersebut refleksi ketaatan pada Tuhan. Atau ada motif lain ?
Bila ada motif lain, maka Kenneth I. Pargament dalam Ahmad Rusydi (2012 :7) menyebut sebagai religious coping atau spiritual coping yaitu dalam upaya, pertama, untuk membantu memperbaiki dan menyempurnakan gambaran natur manusia yang dilaluinya sehari-hari, sisi gelap kondisi manusia seperti kehilangan, kebimbangan, kegaluan, kebingungan, dan lainnya. Semua itu harus disempurnakan melalui sisi “cahaya-Nya” untuk hidup, damai, hidup termotivasi, semua itu diperoleh dari keberagamaan; Kedua, agama memiliki peluang yang luas untuk dikaji, karena agama dilihat sebagai sesuatu yang abstrak, sebagai sebuah sistem kepercayaan, ritual, simbol, dan perasaan; ketiga, mempelajari agama dan coping telah membawa dampak praktis seperti menyelesaikan masalah banyak orang.
Agama dapat menjadi penawar, namun disisatu sisi sebagaimana mengutip M. Amin Abdullah (2005 : 18) disebutkan dapat melengketkan “emosi” yang merupakan cikal bakal agresivitas yang mudah berbelok ke arah tindak kekerasan bila pemahaman yang diperoleh keliru, apalagi didukung oleh sensivitas tertentu.
Bila asumsi pertama terjawab, maka pertanyaan selanjutya adalah sejauh mana refleksi vertikal yang dirajut dengan-Nya dapat teraktualisasi untuk kepantasan atas nama kemanusiaan dalam beragama ?.
Agama tidak salah. Namun seringkali beragama (cara pandang dan parktik beragama) tidak meneguhkan spirit untuk kemanusiaan. Sejatinya dukungan agama (religious support) pada tiap ummat berdampak pada kesehatan mental, terapi kebermaknaan hidup (logoterapi), hingga kesehatan spiritual yang tercermin dalam empat dimensi sehat yaitu sehat intelektual, sehat emosional, sehat sosial, dan sehat spiritual.
Praktiknya yaitu hadirnya sikap moderat, moderat dalam memandang praktik beragama orang lain. Bukan sebaliknya ; menyesatkan, apalagi menghalalkan jiwa dan raga diri dan oranglain untuk ditiadakan.