Tengah Hadapi Klarifikasi Ombudsman Soal Autore, DKP arahkan Pelapor ke APH
JournalNTBnews
Mataram -Ombudsman Perwakilan Provinsi NTB kini tengah dalam melaksanakan proses klarifikasi ke Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) NTB. Ini dalam rangka menindaklanjuti adanya laporan terkait perusahaan penanaman modal asing (PMA), PT Autore Pearl Culture, yang dinilai masih ngeyel mengeksploitasi blok D perairan Desa Sekaroh, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur (Lotim), tanpa legalitas.
Ditemui, Selasa pekan kemarin, Asisten Pemeriksa Laporan Ombudsman Perwakilan NTB, Arya Wiguna mengungkapkan, saat ini pihaknya belum bisa menjelaskan secara gamblang proses klarifikasi dengan DKP NTB. Karena prosesnya masih berlangsung, dan pihaknya belum membuat kesimpulan.
"Kami belum bisa memberikan jawaban terkait hasil klarifikasi, karena masih dalam mekanisme pemeriksaan kita," ungkap Arya.
Saat ini, kata Arya, prosesnya sudah masuk tahap klarifikasi tatap muka setelah sebelumnya, DKP NTB sudah menjawab klarifikasi resmi melalui surat jawaban atas permintaan klarifikasi Ombudsman. Dalam klarifikasinya, lanjut Arya, pihaknya menyentil batas kewenangan, hingga bentuk koordinasi antara Pemprov NTB dan pemerintah pusat dalam hal pemanfaatan ruang laut.
Termasuk soal tidak adanya tindak lanjut DKP NTB atas surat peringatan ketiga (SP3) serta kewenangan pemberian sanksi terhadap keberadaan perusahaan asing milik investor asal Australia tersebut. "Menurut dinas, kewenangan itu hanya sampai di SP3. Sedangkan pemberian sanksi menjadi kewenangan pusat, disebabkan Autore ini PMA," bebernya.
Pihaknya telah mengirim hasil klarifikasi DKP NTB ke pihak pelapor, sambil menanti respon dan jawaban pelapor. Kendati demikian, ia kembali mengingatkan bahwa kewenangan klarifikasi masih sebatas mempertanyakan tindak lanjut dari surat teguran dinas serta batas kewenangan pusat dan daerah.
"Jika nanti mekanisme pemberian sanksi menjadi kewenangan pusat, itu beda lagi. Yang pasti pada prinsipnya, kami mempertanyakan tindak lanjut Pemprov NTB terhadap Autore sesuai apa yang dilaporkan," jelas Arya.
Terpisah, Kepala DKP NTB, Muslim, membenarkan bahwa saat ini pihaknya tengah menghadapi proses pemeriksaan dan klarifikasi Ombudsman NTB. Ia juga membenarkan dinasnya telah mengirim SP3 ke perusahaan Autore.
Menurutnya, terbitnya surat tersebut sesuai amanah Peraturan Daerah (Perda) nomor 12 tahun 2017 sebagaimana diubah dengan Perda nomor 5 tahun 2024 tentang RTRW.
"Dan juga amanah dari Permen KP 30 tahun 2021 tentang pengawasan tata ruang laut. Di mana di blok D itu Autore tidak punya izin, hanya rekomendasi kabupaten, itu kan bukan izin," timpalnya.
Ia mengklaim, dengan adanya SP3 sebagai bentuk dari tanggung jawab DKP NTB, dan hal itu sudah disampaikan ke pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Namun kembali lagi, soal sanksi terhadap Autore menjadi kewenangan Pihak Pengawasan dan Perikanan Pangkalan Benoa, Bali, selaku UPT KKP.
"Lantas apa kendalanya sehingga tidak dilakukan tindak lanjut? karena itu merupakan PMA, izinnya kan kewenangan pusat bukan kita di daerah," ujarnya.
Selama perusahaan Autore beroperasi di blok D, daerah tidak mendapat nilai tambah dan retribusi. Namun jika dilihat dari aspek ekologi, keberadaan perusahaan tersebut memberikan dampak terhadap lingkungan laut. Dulunya, blok D masuk dalam kawasan budidaya. Hal ini sesuai yang tertuang dalam Perda nomor 12 tahun 2017.
"Akan tetapi, ada kepentingan masyarakat dan pelaku wisata disebabkan adanya destinasi wisata Pantai Pink, Desa Sekaroh, akhirnya sesuai Perda nomor 5 tahun 2024 tentang RTRW, diubahlah menjadi zona pariwisata," terangnya.
Ia meminta ombudsman agar kembali melakukan pendalaman secara bijak terhadap laporan pelapor. Sebab, yang bersangkutan tidak memiliki legal aspek di blok D. Sebaliknya, jika pelapor masih keberatan dan merasa dirugikan, pihaknya mempersilahkan untuk melaporkan perusahaan Autore ke aparat penegak hukum (APH).
"Autore juga kan sekarang masih dalam proses pengajuan izin di blok D ke pusat, bahkan sudah beberapa kali pembahasan. Mereka (Pelapor,red) juga pernah ajukan izin ke pusat, tapi saya belum tahu perkembangannya karena itu kewenangan pusat," jelasnya.
Lantas bagaimana dengan kondisi bawah laut di blok D yang menurut informasi sudah sangat memprihatinkan selama aktivitas budidaya mutiara Autore. Sebaliknya sesuai RTRW, area tersebut masuk dalam kawasan pariwisata, apakah Pemprov NTB buntu dengan kewenangannya sendiri?
Atau memang ada unsur pembiaran dari pihak-pihak terkait, dengan alasan 'izin PMA jadi kewenangan pusat', sedangkan dilokasi blok D, tidak ada sama sekali izin budidaya Autore. Masihkah sah secara aturan dan hukum, jika disebut sebagai 'izin PMA'?
Hingga berita ini ditayangkan, tim media ini masih terus menelusuri kebenaran atas polemik keberadaan Autore di blok D.
Pewarta: Tim LIPSUS.